blog.

Bertualang ke Karimunjawa

Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan dari udara. (Sumber Flickr oleh Tiak.)
Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan dari udara. (Sumber Flickr oleh Tiak.)

Sembilan tahun yang lalu—atau tepatnya pada akhir bulan Juli tahun 2011 silam, saya dan kedua kawan kuliah saya melancong ke Kepulauan Karimunjawa. Sembilan tahun tentu bukan waktu yang sebentar, banyak sekali detail perjalanan yang tidak dapat saya ingat. Belum lagi dokumentasi foto yang sangat minim. Saat itu kami bertiga kompak untuk meninggalkan handphone di tempat kami menginap. Maklum saja, dari setiap perjalanan ke pantai sebelumnya, ada saja handphone yang menjadi tumbal. Rusak tercebur ke dalam air.

Mulanya ada delapan orang yang tertarik untuk pelesir ke kepulauan yang berada di wilayah administrasi Kabupaten Jepara ini. Namun sayang satu-persatu mengurungkan niatnya untuk bergabung. Sampai akhirnya pada hari keberangkatan hanya tersisa tiga orang saja: saya, Gita dan Zaky. Pun begitu the show must go on.

Sama seperti perjalanan-perjalanan kami sebelumnya, persiapan kami boleh dibilang minim dan cenderung impulsif. Sampai pada hari keberangkatan kami belum tau akan menginap di mana. Belum tau bagaimana caranya mengunjungi pulau-pulau yang ada di Karimunjawa. Bahkan tiket bus untuk pergi ke Jepara pun belum kami pegang. Nekat memang.

Siang di hari keberangkatan, kami berkumpul di kosan Zaky yang ada di bilangan Ciwaruga—tak jauh dari kampus. Beres mengisi perut di warteg, kami mulai browsing dan menelpon beberapa perusahaan bus yang ada di Bandung. Akhirnya kami memilih bus Bandung Express untuk mencapai Jepara.

Sorenya kami segera bertolak ke pool bus Bandung Express yang ada di Jalan Pajajaran. Beruntung tiket bus ke Jepara masih tersedia dan baru akan berangkat pukul tujuh malam. Kala itu harga tiketnya 80 ribu rupiah.

Tak jauh dari situ, kami juga melihat pool bus Nusantara. Di kemudian hari kami tahu bahwa bus Nusantara juga melayani rute Bandung-Jepara. Bahkan rutenya lewat tepat di depan gerbang Pelabuhan Kartini—pelabuhan menuju Karimunjawa. Dengan membayar 85 ribu, kita bisa mendapatkan makan malam dan armada bus yang relatif lebih bagus kala itu. Hal ini baru kami ketahui setelah kami berada di atas kapal feri yang tengah menuju Karimunjawa. Dari seorang penyelenggara tur wisata yang biasa membawa pengunjung dari Bandung ke Kepulauan Karimunjawa.


Jalur Pantura macet malam itu. Saat itu tepat tujuh hari menuju bulan Ramadan. Jadi maklum banyak proyek perbaikan jalan yang tengah digeber untuk menghadapi arus mudik. Hal ini membuat kami gelisah. Pasalnya kami harus mengejar kapal feri menuju Karimunjawa yang berangkat pukul 7:30. Padahal bila jalanan lancar saja, bus biasanya baru sampai Jepara pukul tujuh. Di tengah perjalanan bus kami juga terpaksa mengangkut penumpang dari bus lain yang mengalami kecelakaan lalu-lintas. Bus tersebut diseruduk sebuah truk dari belakang. Beruntung tidak ada yang terluka sedikit pun.

Di pagi hari kegelisahan kami kian bertambah. Rupanya bus yang kami tumpangi akan berputar terlebih dahulu ke arah Kudus. Atas saran Sang Sopir kami pun turun di sebuah persimpangan di Demak—saya tidak ingat persis di mana. Dari sana kami melanjutkan perjalanan ke Pelabuhan Kartini dengan menggunakan bus berukuran sedang. Bus yang kami tumpangi penuh sesak pagi itu. Kami terpaksa berdiri bersama penumpang lain yang mayoritas adalah anak sekolah.

Kami turun cukup jauh dari dermaga di Pelabuhan Kartini. Waktu sudah lewat dari pukul 7:30—jadwal pemberangkatan feri menuju Karimunjawa. Kami sudah siap bila harus menginap satu malam di pelabuhan. Tak jauh dari tempat kami turun, seorang bapak menawarkan jasa becaknya kepada kami. Tanpa berpikir panjang kami menerima tawaran tersebut. Berharap kapal feri masih belum berangkat. Bapak tersebut mengayuh becaknya dengan kecepatan maksimal. Membawa kami bertiga yang berjejalan di atas kursi becak yang tak seberapa lebarnya.

Di kejauhan petugas di dermaga melambai-lambaikan tangannya ke arah kami, meminta kami untuk bergegas. Kapal feri yang akan berangkat menuju Karimunjawa masih berada di dermaga dan sudah siap untuk berlayar. Selain ongkos becak, kami menitipkan uang untuk membayar tiket kapal feri kepada bapak pengayuh becak. Ini agar kami bisa diantarkan langsung ke depan pintu masuk kapal dan segera naik ke atasnya.

Seperti sebuah keajaiban rasanya masih bisa mengejar kapal feri yang harusnya sudah pergi meninggalkan Pelabuhan Kartini beberapa saat yang lalu. Mungkin kami adalah penumpang terakhir yang naik ke atas kapal. Karena tak lama, Sang Nahkoda membunyikan klakson angin kapalnya. Kapal pun berlayar menuju lauatan lepas. Menuju Kepulauan Karimunjawa.


Kapal feri yang kami gunakan untuk menyebrang ke Karimunjawa bernama KMP Muria. Kapal yang dioperasikan oleh PT ASDP ini dibuat pada tahun 1996. Dengan panjang tak lebih dari 40 meter, kapal feri ini hanya memiliki volume kurang dari 420 gross tonnage.1 Ia bisa menampung sekira 300 penumpang. Dengan geladak dasarnya yang bisa menampung beberapa truk dan kendaraan penumpang lainnya. Kapal ini ditenagai oleh sepasang mesin yang masing-masing mampu memuntahkan tenaga sebesar 530 daya kuda. Dengan kecepatan maksimum hingga 7 knot, perjalanan Jepara-Karimunjawa bisa ditempuh dalam 6 hingga 7 jam.

Rupanya KMP Muria sejak tahun 2019 dipindahtugaskan ke Riau untuk melayani rute Dumai dan Tanjung Kapal yang ada di Pulau Rupat.2 Kini rute Jepara-Karimunjawa dilayani oleh KMP Siginjai yang relatif lebih anyar karena baru dibangun pada tahun 2012. Ukurannya lebih besar. Volumenya mencapai 616 gross tonnage.3 Dengan sepasang mesin yang lebih bertenaga, kapal dapat melaju hingga kecepatan 10 knot. Waktu tempuh Jepara-Karimunjawa pun dapat dipangkas menjadi 4 jam saja.

Kala itu kapal cepat ke Karimunjawa pun sudah tersedia. KMC Kartini 1 namanya. Kapal yang dioperasikan oleh Dishub Jawa Tengah ini kala itu hanya beroperasi di akhir pekan saja. Hari Sabtu bertolak dari Pelabuhan Tanjung Emas di Semarang. Sementara Hari Minggu ia bertolak dari Pelabuhan Kartini di Jepara. Dengan kapal cepat ini, waktu tempuh ke Karimunjawa dapat dipangkas menjadi 2 sampai 3 jam saja. Tentu biaya yang harus dikeluarkan pun lebih besar. Kala itu tiket KMP Muria kami tebus sekira 30 ribu saja. Sedang tiket KMC Kartini 1 dibanderol mulai dari 70 ribu hingga 150 ribu, tergantung kelas dan pelabuhan asal.

Sejak tahun 2012 ada juga kapal cepat Express Bahari yang dioperasikan PT Pelayaran Sakti Inti Makmur. Dengan waktu tempuh sekira 2 jam saja, kini kapal cepat Express Bahari melayani rute Jepara-Karimunjawa setiap harinya.


Di dalam kapal kami memutuskan untuk duduk di geladak dasar; yang sebenarnya ditujukan untuk kargo dan parkir kendaraan bermotor. Di sana kami bisa lebih bebas meregangkan otot dan tiduran. Kami bergantian pergi ke dek atas untuk cuci muka dan sarapan. Tidak banyak pilihan. Saya memesan Popmie dan secangkir kopi instan untuk mengisi perut yang kosong.

Beres sarapan saya bergegas kembali ke dek bawah untuk beristirahat. Kala itu, saya yang mudah mengalami motion sickness mulai merasakan pusing dan mual. Saya yang tadinya mau tiduran justru diajak ngobrol oleh penumpang lain di kapal. Saya lupa nama mas-mas yang mengajak ngobrol tersebut. Tapi beliau kala itu bekerja di Kura-Kura Resort—sebuah resort mewah yang berada di Pulau Menyawakan. Kami duduk di atas tikar yang dibentangkan di geladak kapal. Alas kaki kami tanggalkan. Beliau menaruh sepatu Nike miliknya yang tampak masih baru di samping saya.

Semakin lama mengobrol, semakin mual dan pening kepala saya. Saya hanya sanggup manggut-manggut untuk menimpali beliau. Puncaknya, tanpa aba-aba, seluruh isi perut saya keluar begitu saja. Popmie yang belum sempat saya cerna pun mendarat tepat di sepatu Nike beliau. Saya kontan meminta maaf dan menawarkan diri untuk membersihkan sepatunya. Namun beliau dengan lembut menolak tawaran saya. “Biar saya bersihkan sendiri,” ujarnya. Beliau pun beranjak dan saya pun membersihkan sisa tumpahan muntah di lantai. Setelah kejadian muntah tersebut, badan saya terasa lebih segar. Pusing dan mual pun sirna seketika.

Di kapal kami juga berkenalan dengan Kang Apit. Beliau menyelenggarakan tur wisata ke Karimunjawa dan tengah membawa rombongan dari Bandung. Dari beliau lah kami tahu ada bus Nusantara yang juga melayani rute Bandung-Jepara. Dari beliau juga lah kami diperkenalkan kepada keluarga Mas Saba—tempat kami menginap selama di Karimunjawa. Beliau juga mempersilakan kami untuk ikut island hopping bersama rombongannya. Alhamdulillah.

Klakson angin kapal pun nyaring berbunyi. Pertanda kapal akan segera merapat di dermaga.

Bangunan Kura-Kura Ocean Park yang berbentuk penyu di Pantai Kartini, Jepara. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)
Bangunan Kura-Kura Ocean Park yang berbentuk penyu di Pantai Kartini, Jepara. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)

Bayang-bayang Gunung Muria tampak di kejauhan. (Sumber Flickr oleh Davy Demaline)
Bayang-bayang Gunung Muria tampak di kejauhan. (Sumber Flickr oleh Davy Demaline)

KMP Muria tengah sandar di Pelabuhan Kartini Jepara. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)
KMP Muria tengah sandar di Pelabuhan Kartini Jepara. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)

KMP Siginjai di Dermaga Karimunjawa. (Sumber Wikimedia Commons oleh Agathavidya)
KMP Siginjai di Dermaga Karimunjawa. (Sumber Wikimedia Commons oleh Agathavidya)

Suasana dermaga utama Karimunjawa. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)
Suasana dermaga utama Karimunjawa. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)

Pulau Karimunjawa yang berbukit-bukit. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)
Pulau Karimunjawa yang berbukit-bukit. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)


Selama di Karimunjawa kami tinggal bersama keluarga Mas Saba. Bersama ayah dan ibu beliau. Keluarga Mas Saba benar-benar baik sekali kepada kami. Mereka memperlakukan kami seperti keluarganya sendiri. Kami ditempatkan di sebuah kamar yang berisi beberapa kasur kapuk lengkap dengan kelambunya. Makan dan minum pun disediakan oleh keluarga beliau. Rupanya Kang Apit pun saat pertama kali berkunjung ke Karimunjawa, ditampung oleh keluarga Mas Saba.

Ayah Mas Saba dahulu bekerja sebagai seorang nelayan. Kini beliau sudah sepuh dan tidak sanggup lagi melaut. Setiap malam kami duduk mengelilingi beliau. Menyantap kudapan dari Ibu Mas Saba sembari mendengarkan kisah petualangan beliau sebagai seorang nelayan. Perairan Aceh hingga Papua pernah ia arungi. Tak jarang juga melaut hingga keluar batas perairan Indonesia.

Di sana kami juga berkenalan dengan Mas Jambrong dan Pak Yitno. Kalau ingatan saya tidak salah, Mas Jambrong ini adalah kakak dari Mas Saba. Kala itu beliau menjalankan usaha tur wisata di Karimunjawa. Beliau juga membuka stand Tela-Tela Singkong di Alun-Alun Karimunjawa.

Pak Yitno sendiri pembawaannya ramah dan jenaka. Senyum selalu tersungging dari bibirnya. Orangnya sangat perhatian dan senang bercerita tentang pengalaman-pengalamannya. Kami merasa seperti sahabat meski baru bertemu saat itu.

Pak Yitno berprofesi sebagai nelayan. Sama seperti ayah Mas Saba, beliau juga sudah melanglang buana ke seantero perairan Nusantara. Suatu waktu juga beliau pernah menjadi seorang nelayan kompresor. Sebuah profesi yang sangat berbahaya. Beliau harus menyelam ke kedalaman dengan hanya mengandalkan asupan udara dari mesin kompresor yang biasa kita temui di tukang tambal ban. Padahal tak sedikit kasus nelayan kompresor yang mengalami kelumpuhan bahkan kematiaan akibat buruknya standard keamanan yang diterapkan. Tapi sekarang beliau lebih sering menjadi pemandu wisata. Beliau lah yang menemani kami dan rombongan Kang Apit untuk menjelajahi pulau-pulau yang ada di Karimunjawa.

Suasana perkampungan di Pulau Karimunjawa. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)
Suasana perkampungan di Pulau Karimunjawa. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)

Rumah panggung milik warga di Karimunjawa. (Sumber Flickr oleh Ad Bercht)
Rumah panggung milik warga di Karimunjawa. (Sumber Flickr oleh Ad Bercht)

Banyak rumah warga yang terpasang parabola untuk menangkap siaran televisi. (Sumber Flickr oleh Ad Bercht)
Banyak rumah warga yang terpasang parabola untuk menangkap siaran televisi. (Sumber Flickr oleh Ad Bercht)

Warga tengah bercengraka di bawah rindangnya pohon. (Sumber Flickr oleh Ad Bercht)
Warga tengah bercengraka di bawah rindangnya pohon. (Sumber Flickr oleh Ad Bercht)

Peta Kepulauan Karimunjawa terpampang tak jauh dari alun-alun. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)
Peta Kepulauan Karimunjawa terpampang tak jauh dari alun-alun. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)

Suasana Alun-Alun Karimunjawa di malam hari. (Sumber Flickr oleh Ad Bercht)
Suasana Alun-Alun Karimunjawa di malam hari. (Sumber Flickr oleh Ad Bercht)


Karimunjawa terletak di lepas Laut Jawa. Sekira 80 kilometer di Barat Laut dari Kabupaten Jepara. Ia terdiri dari 27 gugusan pulau. Hanya lima pulau yang berpenghuni: Karimunjawa, Kemujan, Nyamuk, Parang dan Genting.

Luas wilayah perairannya mencapai lebih dari 110 ribu hektare. Sedangkan luas daratannya kurang dari 7.200 hektare. Dari data BPS pada tahun 2017, populasi penduduk di Kepulauan Karimunjawa mencapai 9.500 orang. Di mana lebih dari setengahnya tinggal di Pulau Karimunjawa.4

Karena kekayaan biotanya, sejak tahun 1986 Kepulauan Karimunjawa dan perairan di sekitarnya ditetapkan sebagai cagar alam laut. Baru pada tahun 1999, atas SK Menteri Kehutanan statusnya menjadi taman nasional dengan luas area mencakup lebih dari 111 ribu hektare. Dari 27 pulau, 22 diantaranya masuk ke dalam kawasan taman nasional. Dan di tahun 2001, wilayah perairan di Taman Nasional Karimunjawa ditetapkan sebagi marine reserve atau kawasan pelestarian perairan.5

Ekosistem di Taman Nasional Karimunjawa dapat dikelompokan ke dalam 5 tipe: terumbu karang, padang lamun & alga, hutan bakau, hutan pesisir dan hutan hujan tropis dataran rendah.6

Karimunjawa menyediakan lingkungan yang ideal bagi perkembangan beragam biota laut. Setidaknya sudah ada lebih dari 90 spesies terumbu karang yang berhasil diidentifikasi. Salah satunya adalah black coral (Antiphates sp.) atau di Indonesia dikenal sebagai akar bahar hitam. Di banyak kebudayaan—tidak hanya di Indonesia—akar bahar dipercaya bisa menyembuhkan beragam penyakit. Mulai dari rematik hingga menangkal santet. Tak heran populasi akar bahar di habitatnya terus menurun karena perburuan liar. Kini akar bahar termasuk biota yang dilindungi.

Perairan Karimunjawa juga menjadi rumah bagi lebih dari 350 spesies ikan karang.6 Tidak kurang dari enam jenis spesies kima (Tridacna) hidup di sini. Ada pula dua spesies penyu yang terancam punah: penyu hijau (Chelonia mydas) dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata). Beberapa spesies moluska yang statusnya dilindungi pun bisa kita temukan di sini. Salah satunya adalah nautilus berongga (Nautilus pompilius) yang juga menjadi logo dari Taman Nasional Karimunjawa.7

Beragam jenis alga juga tumbuh di perairan Karimunjawa. Mulai dari alga hijau, alga coklat, hingga alga merah. Padang lamun atau seagrass juga tumbuh subur di perairannya. Tak kurang dari 11 spesies lamun bisa kita temukan di sini.6 Padang lamun sendiri memiliki peran yang vital dalam ekosistem. Selain menjadi sumber makanan dan tempat berlindung bagi beberapa biota laut, padang lamun juga dapat mengurangi dampak erosi di pesisir. Keberadaannya juga mampu meningkatkan kualitas air. Ia juga berperan penting dalam penyerapan karbon dioksida. Bila dibandingkan dengan luas yang sama, padang lamun mampu menyerap karbon dioksida dua kali lebih banyak daripada hutan hujan tropis.

Luas hutan bakau di Karimunjawa mencapai lebih dari 400 hektare. Di mana lebih dari setengahnya berada di Pulau Kemujan. Tak kurang dari 45 spesies bakau tersebar di Karimunjawa.6 Namun disayangkan ada beberapa bagian hutan bakau di Pulau Kemujan yang kini dialihfungsikan menjadi tambak udang.8

Adapun luas hutan hujan tropis dataran rendahnya mencapai hampir 1.300 hektare; yang tersusun dari setidaknya 170 spesies flora.6 Tiga spesies pohon yang dianggap keramat oleh sebagian masyarakat pun tumbuh di sini. Ada pohon kalimasada (Cordia subcordata), stigi (Pemphis acidula) dan juga dewadaru (Eugenia uniflora). Karena dianggap memiliki kekuatan magis, ketiga pohon berbunga tersebut kerap digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan tasbih, tongkat, hingga gagang untuk keris.

Peta Kepulauan Karimunjawa dan area terumbu karangnya. (Sumber ResearchGate oleh Siham Afatta hasil modifikasi dari peta Wildlife Conservation Society)
Peta Kepulauan Karimunjawa dan area terumbu karangnya. (Sumber ResearchGate oleh Siham Afatta hasil modifikasi dari peta Wildlife Conservation Society)

Warna-warni terumbu karang di perairan Karimunjawa. (Sumber Flickr oleh Tiak.)
Warna-warni terumbu karang di perairan Karimunjawa. (Sumber Flickr oleh Tiak.)

Ikan giru—atau ikan badut—tengah bersembunyi di balik anemon. (Sumber Flickr oleh Tiak.)
Ikan giru—atau ikan badut—tengah bersembunyi di balik anemon. (Sumber Flickr oleh Tiak.)

Kondisi jalan yang menghubungkan Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)
Kondisi jalan yang menghubungkan Pulau Karimunjawa dan Pulau Kemujan. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)

Dari data BPS tahun 2017, total luas pesawahan di Karimunjawa hanya 18 hektare. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)
Dari data BPS tahun 2017, total luas pesawahan di Karimunjawa hanya 18 hektare. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)

Pohon dewadaru yang ada di Bandara Dewadaru Karimunjawa. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)
Pohon dewadaru yang ada di Bandara Dewadaru Karimunjawa. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)

Bibit-bibit pohon dewadaru. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)
Bibit-bibit pohon dewadaru. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)

Rimbunnya hutan bakau di Kepulauan Karimunjawa. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)
Rimbunnya hutan bakau di Kepulauan Karimunjawa. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)

Deretan pohon bakau yang tumbuh di pesesir Pulau Menyawakan. (Sumber Flickr oleh dany13)
Deretan pohon bakau yang tumbuh di pesesir Pulau Menyawakan. (Sumber Flickr oleh dany13)

Hutan bakau di Pulau Kemujan. (Sumber Flickr oleh Ad Bercht)
Hutan bakau di Pulau Kemujan. (Sumber Flickr oleh Ad Bercht)


Selama dua hari kami mengikuti tur island hopping bersama rombongan dari Karjaw Vacation yang dikelola oleh Kang Apit. Hari pertama kami snorkeling di Pulau Tengah—pulau kecil yang berada di Timur Pulau Kemujan. Di sana kami juga makan siang dengan beragam jenis ikan laut segar yang dibakar langsung di tempat.

Dari Pulau Tengah, kami beranjak ke Selatan menuju Pulau Cilik untuk snorkeling kembali. Sesuai dengan namanya, pulau ini sangat kecil. Luasnya hanya sekira 2 hektare saja. Ada sebuah dermaga kayu yang menjorok agak jauh ke lautan. Tiang-tiang dermaganya ditumbuhi beragam jenis terumbu karang yang warna-warni. Keindahan bawah lautnya bisa kita nikmati cukup dari atas dermaga.

Menjelang asar, perjalanan di lanjutkan kembali menuju Gosong Seloka yang berada di lepas Tanjung Seloka. Gosong adalah gundukan pasir, kerikil, atau material lainnya yang dapat muncul ke dekat permukaan air. Gosong terbentuk secara alami karena sejumlah sedimen yang terbawa oleh arus sungai atau arus laut. Umumnya bentuk gosong memanjang dengan lebar yang tak seberapa. Gosong Seloka sendiri baru muncul ke permukaan saat laut sedang surut. Di sana kami hanya bermain-main air dan duduk-duduk di atas hamparan pasirnya yang tak seberapa luas.

Hari itu ditutup dengan kunjungan ke Pulau Menjangan Besar. Pulau ini berada tidak jauh dari dermaga utama Pulau Karimunjawa. Hanya 15 menit perjalanan dengan menggunakan perahu motor. Di pulau ini terdapat penangkaran hiu; yang dikemudian hari saya ketahui tidak berizin. Ada beberapa spesies hiu yang ditangkar di sini. Namun didominasi oleh spesies dari hiu karang sirip putih (Triaenodon obesus) dan hiu karang sirip hitam (Carcharhinus melanopterus). Kala itu biota laut lain seperti penyu, ikan buntal, hingga bintang laut juga ditangkar di tempat tersebut.

Karena dianggap jinak, para pengunjung pun dapat berenang bersama hiu-hiu yang ada dalam penangkaran. Namun nahas, pada tahun 2016 silam ada seorang wisatawan yang menjadi korban. Kedua ibu jari kakinya terpaksa dijahit karena gigitan hiu di penangkaran tersebut. Karena kejadian nahas tersebut—ditambah ketiadaan izin penangkaran—pada tahun 2018 kepala Balai Taman Nasional Karimunjawa mengeluarkan surat penutupan wisata penangkaran tersebut. Tidak sampai di situ, pada bulan Maret tahun 2019 yang lalu, hampir semua hiu yang ada di dalam penangkaran tersebut mati mendadak secara misterius.9

Saya pribadi tidak mendukung ide penangkaran hewan non-ternak seperti ini. Apalagi bila hewan tersebut buas dan dilindungi. Biarkan hewan-hewan tersebut hidup bebas di habitat asalnya.

Wisma Apung—penginapan sekaligus tempat penangkaran hiu di lepas Pulau Menjangan Besar. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)
Wisma Apung—penginapan sekaligus tempat penangkaran hiu di lepas Pulau Menjangan Besar. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)

Pulau Menjangan Besar. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)
Pulau Menjangan Besar. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)

Penangkaran hiu di Pulau Menjangan Besar. (Sumber Flickr oleh Davy Demaline)
Penangkaran hiu di Pulau Menjangan Besar. (Sumber Flickr oleh Davy Demaline)

Perahu-perahu yang mengangkut wisatawan di Karimunjawa (Sumber Flickr oleh Davy Demaline)
Perahu-perahu yang mengangkut wisatawan di Karimunjawa (Sumber Flickr oleh Davy Demaline)

Pemandangan dari Bukit Love—tampak Pulau Menjangan Besar dan Menjangan Kecil di kejauhan. (Sumber Flickr oleh Ad Bercht)
Pemandangan dari Bukit Love—tampak Pulau Menjangan Besar dan Menjangan Kecil di kejauhan. (Sumber Flickr oleh Ad Bercht)

Pulau Karimunjawa yang berbukit-bukit. (Sumber Flickr oleh Davy Demaline)
Pulau Karimunjawa yang berbukit-bukit. (Sumber Flickr oleh Davy Demaline)

Mesjid Agung Karimunjawa dengan menaranya yang menjulang di kejauhan. (Sumber Flickr oleh Ad Bercht)
Mesjid Agung Karimunjawa dengan menaranya yang menjulang di kejauhan. (Sumber Flickr oleh Ad Bercht)

Pantai Barakuda yang ada di sisi Timur Pulau Kemujan. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)
Pantai Barakuda yang ada di sisi Timur Pulau Kemujan. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)

Pantai Legon Lele, sekira 5 km dari Alun-Alun Karimunjawa. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)
Pantai Legon Lele, sekira 5 km dari Alun-Alun Karimunjawa. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)


Tur hari kedua dimulai dengan snorkeling di Pulau Menjangan Kecil. Pulau ini terletak di Barat Daya dermaga utama Karimunjawa, tak jauh dari Pulau Menjangan Besar. Perairan di pulau ini menjadi salah satu lokasi favorit untuk menyelam dan snorkeling. Dengan rata-rata jarak pandang di dalam perairannya yang mencapai 10 meter, kita bisa dengan leluasa menikmati keindahan alam bawah lautnya. Kawanan kakap dan ikan ekor kuning bisa kita temui di sini.10

Tak jauh dari bibir pantainya, kita bisa menemukan bangkai kapal KLM Masa Indah yang karam pada tahun 2007 silam. Kapal tersebut bertolak dari Pelabuhan Tanjung Emas di Semarang dan tengah dalam perjalanan menuju kota Sampit di Kalimantan Tengah. Akibat kebocoran di haluan kapal, ditambah dengan cuaca yang buruk, kapal tersebut karam saat berusaha menepi ke Pulau Menjangan Kecil. Kapal nahas tersebut tenggelam bersama seluruh isi muatannya: ada genting, besi, pipa, hingga kasur. Beruntung seluruh awak kapal berhasil menyelamatkan diri.11 Kini bangkai kapal kayu tersebut menjadi tempat tinggal bagi beragam jenis soft coral.

Dari Pulau Menjangan Kecil kami meneruskan perjalanan ke arah Barat: menuju Pulau Geleang. Pulau ini memiliki pantai berpasir putih yang cukup lapang. Perairan di sekitarnya pun sangat dangkal. Kita bisa berjalan cukup jauh dari bibir pantai tanpa perlu takut tenggelam. Pun begitu Kang Apit mewanti-wanti kami agar tetap waspada, karena di sekitar pulau ini kadang ditemukan ikan pari. Di pulau ini juga kami beristirahat makan siang. Menunya tentu saja beragam jenis ikan bakar.

Pulau yang rimbun dengan pohon cemara dan kelapa ini menjadi rumah bagi Mbah Munaya dan putranya yang berkebutuhan khusus: Mas Mudi. Mas Mudi pembawaannya sangat periang. Beliau banyak berbincang dan berseloroh dengan para pemandu tur kami. Mas Mudi sangat senang dengan lagu dangdut. Tak jarang ia bangkit dan berlenggok bak biduan tiap kali lagu dangdut diputar. Mas Mudi dan ibunya menggantungkan hidup dari wisatawan yang berkunjung. Selain dari berjualan makanan dan minuman, mereka mendapat rupiah dari setiap kapal yang sandar—hitung-hitung iuran kebersihan.

Kami beranjak menuju Pulau Cemara Kecil yang berada di Timur Laut dari Pulau Geleang untuk snorkeling. Sesuai dengan namanya, pulau ini rimbun oleh pohon-pohon cemara. Luasnya hanya 1,5 hektar saja. Kita dapat mengelilingi pulau dalam waktu kurang dari 15 menit. Di sebelah Barat pulau, pantai pasir putihnya cukup luas dan landai. Di sebelah Timur kita bisa melihat Pulau Karimunjawa yang berbukit dan rimbun oleh pepohonan.

Keindahan bawah laut Pulau Cemara Kecil tak kalah indahnya. Setidaknya ada 11 genus terumbu karang ditemukan di perairannya. Terumbu karang dari genus Acropora dan Lobophyllia mendominasi dasar perairannya. Beragam ikan hias dengan warna-warni yang menarik hilir mudik di antara sela-sela terumbu karang dan anemon. Salah satu yang sering ditemukan adalah Springer’s Demoiselle (Chrysiptera springeri)—ikan hias kecil dengan warna birunya yang mencolok.12

Dari Pulau Cemara Kecil kami mengunjungi destinasi terakhir kami: Pantai Ujung Gelam. Pantai ini berada di Tanjung Gelam—sisi paling Barat dari Pulau Karimunjawa. Pantai ini menjadi lokasi favorit untuk menikmati prosesi tenggelamnya matahari di Karimunjawa. Pantainya tidak terlalu lebar. Pohon-pohon kelapa tumbuh rindang di tepinya. Sebagian tumbuh doyong ke arah lautan. Deretan batu-batu besar juga ditemukan di beberapa bagian pantai. Warna hitam bebatuan kontras dengan putihnya pasir pantai.

Tak lama setelah matahari terbenam, kami bergegas kembali ke kapal. Perjalanan pulang dari Tanjung Gelam menuju dermaga di sisi Selatan pulau menjadi salah satu momen yang paling berkesan. Semburat jingga dan merah dari matahari yang baru saja terbenam menghiasi langit petang itu. Bayangan Pulau Karimunjawa yang berbukit-bukit mengiringi perjalanan kami. Lampu-lampu dari rumah penduduk berpendar lemah di kejauhan. Kala itu listrik di Karimunjawa hanya tersedia selama 12 jam—dari pukul 6 petang hingga pukul 6 pagi.

Hampir tidak terdengar obrolan di antara kami. Hanya deru motor kapal dan debur ombak yang beradu dengan lambung kapal. Kami semua terpukau akan sajian keindahan alam Karimunjawa petang itu.

Malam itu adalah malam terakhir kami di Pulau Karimunjawa. Lepas makan malam, kami duduk-duduk di dermaga. Kami kembali terpukau. Milyaran bintang bertebaran di langit malam itu. Beberapa kali kami melihat bintang jatuh yang melintas di angkasa. Dengan mata telanjang, untuk pertama kalinya kami melihat bentangan cakram Galaksi Bimasakti. Tak pernah kami melihat bintang sebanyak itu di langit.

Pulau Menjangan Kecil. (Sumber Wikimedia Commons oleh Suha Aisyah)
Pulau Menjangan Kecil. (Sumber Wikimedia Commons oleh Suha Aisyah)

Pulau Geleang di kejauhan. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)
Pulau Geleang di kejauhan. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)

Suasana di Pulau Cemara Kecil yang tenang. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)
Suasana di Pulau Cemara Kecil yang tenang. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)

Hamparan pasir putih di ujung Pulau Cemara Kecil. (Sumber Pexels oleh Alief Baldwin)
Hamparan pasir putih di ujung Pulau Cemara Kecil. (Sumber Pexels oleh Alief Baldwin)

Suasana Pantai Ujung Gelam. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)
Suasana Pantai Ujung Gelam. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)

Deretan batu-batu besar di beberapa bagian Pantai Ujung Gelam. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)
Deretan batu-batu besar di beberapa bagian Pantai Ujung Gelam. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)

Suasana saat matahari terbenam di Karimunjawa. (Sumber Wikimedia Commons oleh Amelia.angela2210)
Suasana saat matahari terbenam di Karimunjawa. (Sumber Wikimedia Commons oleh Amelia.angela2210)

Kawanan burung kembali ke sarangnya kala senja tiba. (Sumber Flickr oleh Tiak.)
Kawanan burung kembali ke sarangnya kala senja tiba. (Sumber Flickr oleh Tiak.)

Beberapa pohon kelapa condong ke lautan. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)
Beberapa pohon kelapa condong ke lautan. (Sumber Wikimedia Commons oleh Midori)


Esoknya kami harus pulang meninggalkan Karimunjawa. Rencananya kami akan mengunjungi Semarang dan Yogyakarta sebelum kembali ke Bandung. Kami kembali menggunakan kapal KMP Muria untuk menyebrang ke Jepara. Belajar dari tragedi sebelumnya, kali ini saya dan Gita sudah dipersenjatai dengan Antimo—obat anti mabuk. Kami minum satu tablet obat anti mabuk tersebut sebelum naik ke atas kapal. Hanya Zaki yang tidak minum—ia lebih tangguh menghadapi goyangan kapal daripada kami berdua.

Mas Saba mengantarkan kami hingga dermaga. Setelah membeli tiket, kami berpamitan dan bergegas naik ke atas kapal. Kami kembali memilih untuk duduk di geladak dasarnya. Tak lama rasa kantuk pun mulai menyerang—efek dari obat anti mabuk yang kami minum. Saya mulai merebahkan badan di atas dek kapal. Menjadikan ransel sebagai bantalan untuk kepala.

Klakson angin kapal menyalak dengan nyaring. Suaranya bergema ke segala penjuru pulau. Tak kuasa menahan kantuk, saya pun memejamkan mata dan tertidur bersama kapal yang perlahan melaju meninggalkan Karimunjawa.


  1. MURIA Passenger Ship - Vessel details. AIS Marine Traffic. Diakses pada tanggal 13 Mei 2020. ↩︎

  2. Pelayanan Penyeberangan Tanjung Kapal-Dumai akan Diganti KMP yang Lebih Besar. Diskominfotik Kabupaten Bengkalis. Diakses pada tanggal 13 Mei 2020. ↩︎

  3. SIGINJAI Ro-Ro/Passenger Ship - Vessel details. AIS Marine Traffic. Diakses pada tanggal 13 Mei 2020. ↩︎

  4. Kecamatan Karimunjawa dalam Angka 2018. BPS Kabupaten Jepara. Diakses pada tanggal 14 Mei 2020. ↩︎

  5. Kronologis Penetapan Kawasan Taman Nasional Karimunjawa (Arsip). Balai Taman Nasional Karimunjawa. Diakses pada tanggal 14 Mei 2020. ↩︎

  6. Profil Kawasan Konservasi Provinsi Jawa Tengah. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Diakses pada tanggal 14 Mei 2020. ↩︎

  7. Karimunjawa Marine National Park - The Oasis of Java (Arsip). Accessible Resource Centre - British Columbia. Diakses pada tanggal 14 Mei 2020. ↩︎

  8. Hutan Bakau Karimunjawa Berubah Alih fungsi lahan Menjadi Tambak. Tempo. Diakses pada tanggal 14 Mei 2020. ↩︎

  9. Penyebab Kematian 45 Hiu di Kolam Karimunjawa Belum Diketahui. Tempo. Diakses pada tanggal 14 Mei 2020. ↩︎

  10. Menjangan Kecil Karimunjawa Dive Area. Indonesia Dive Directory. Diakses pada tanggal 15 Mei 2020. ↩︎

  11. KLM Masa Indah Tenggelam di Karimunjawa. Kementrian Perhubungan Republik Indonesia. Diakses pada tanggal 15 Mei 2020. ↩︎

  12. Pulau Cemara Kecil - Direktori Pulau-Pulau Kecil Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Diakses pada tanggal 15 Mei 2020. ↩︎