blog.

Book for Mountain

Book for Mountain
Book for Mountain

Ada satu mimpi yang selama ini kurawat: membangun sebuah perpustakaan di pelosok! Ya, aku ingin memiliki sebuah perpustakaan di pelosok negeri ini—di mana pendidikan sulit diakses. Di mana buku adalah barang mewah yang sulit untuk didapat. Sebuah mimpi sederhana yang lahir dari kecintaanku pada negeri ini. Mimpi yang lahir dari dorongan kuat untuk berbagi, untuk memberi arti pada kehidupan orang lain. Aku ingin memberikan sumbangsih pada tanah air yang kucintai ini.

Aku selalu membayangkan diriku bolak-balik membopong buku-buku dengan ransel jumboku. Menerobos lembab dan rimbunnya rimba. Melintasi sungai berbatu dengan airnya yang jernih. Berjuang melawan perihnya gigitan pacet. Meniti jembatan bambu yang berderit mengerikan demi membangun perpustakaan sederhanaku.

Perpustakaan sederhana yang tak perlu mewah, tapi nyaman untuk siapa saja. Perpustakaan berdinding kayu yang diplitur mengkilat. Langit-langitnya tinggi dengan atap rumbia. Rak-rak bukunya berderet rapi di tiap sudut. Dindingnya ditempeli peta-peta, kosakata berbagai bahasa asing, beragam spesies flora dan fauna hingga foto-foto pahlawan dan tokoh dunia. Halamannya dirimbuni pepohonan yang teduh. Ah, pokoknya tempat yang menyenangkan untuk belajar dan bermain bagi anak-anak.


Lalu mimpiku itu tampak semakin nyata. Tadi siang, sewaktu aku berkunjung ke blog-nya Maharsi Wahyu—sarjana akutansi yang juga bercita-cita untuk mempunyai sekolah gratis—aku menemukan posting berjudul “Di Bawah Langit Biru: Sebuah Intro”. Pada posting-an tersebut, wanita yang ingin memiliki sebuah rumah di Kepulauan Banda itu menceritakan pengalamannya membuka perpustakaan di Lebak Banten, saat menjadi relawan di komunitas Book for Mountain (BFM).

Saat mengenal BFM inilah, aku merasa mimpiku untuk membangun perpustakaan semakin nyata. Komunitas ini berawal dari kegiatan KKN para mahasiswa UGM yang mengabdi di lereng Gunung Rinjani, Lombok pada tahun 2010 silam. Mereka menemui realita bahwa anak-anak di pelosok memiliki keterbatasan akses terhadap buku. Padahal buku itu adalah “jendela dunia”, darinya kita bisa membuka wawasan, mengembangkan kreatifitas, membawa kita mengenal dunia. Beranjak dari keprihatinan itu, akhirnya separuh dari anggota KKN tersebut membangun komunitas Book for Mountain ini.

BFM memiliki perhatian yang besar pada akses pendidikan yang tidak merata di negeri ini. Dengan berbekal donasi dan bantuan CSR, mereka membuka perpustakaan di berbagai pelosok negeri. Dengan slogan “We love kids. We love books. We adore Indonesia”, mereka berjuang untuk menyediakan buku bagi anak-anak di pelosok. Sampai saat ini mereka telah berhasil membangun 18 perpustakaan di 15 desa. Tak kurang dari 7000 buku telah mereka distribusikan.

Tak hanya buku, BFM juga memiliki agenda rutin yang unik. Ada “SekBer” atau Sekolah Berjalan, sebuah program bermain sambil belajar yang mengenalkan anak-anak pada: kesenian dan keterampilan, profesi, bumi dan luar angkasa hingga kesehatan dan tubuh manusia. Ada juga program “volunturism”, program yang menggabungkan kegiatan melancong dengan kerja sosial. Volunturism memberikan kesempatan bagi para pelancong untuk tidak hanya menikmati keindahan alamnya, tetapi juga sekaligus memberikan kontribusi pada pendidikan anak-anak di pelosok.


Aku ingin bergabung dengan komunitas BFM ini. Segera setelah kontrakku sebagai engineer ini habis, akan kudedikasikan hidupku untuk pendidikan anak-anak di pelosok. Semoga tabunganku nanti cukup untuk membangun sebuah perpustakaan kecil di Banda, Sorong, Kei, Alor, Natuna atau Togean. Ya, akan kutinggalkan pekerjaanku. Aku ingin menghidupkan mimpiku, aku akan mengajar anak-anak disana dan merawat perpustakaanku.

Foto cover dari Unsplash oleh Robyn Budlender.